Kamis, 31 Desember 2009

SALAB

SALAB

Salab adalah harta rampasan milik musuh

Jumat, 06 November 2009

macam-macam diyat

Diyat ada dua macam :

a. Diyat Mughalazhah, yakni denda berat

Diyat Mughalazhah ialah denda yang diwajibkan atas pembunuhan sengaja jika ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa serta denda aas pembunuhan tidak sengaja dan denda atas pembunuhan yang tidak ada unsur-unsur membunuh yang dilakukan dibulan haram, ditempat haram serta pembunuhan atas diri seseorang yang masih ada hubungan kekeluargaan.

Jumlah dendanya ialah : 100 ekor unta terdiri 30 ekor unta berumur 3 tahun, 30 ekor unta berumur 4 tahun serta 40 ekor unta berumur 5 tahun (yang sedang hamil).

Diat Mughallazah ialah :

· Pembunuhan sengaja yaitu ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa.

· Pembunuhan tidak sengaja / serupa

· Pembunuhan di bulan haram yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan Rajab.

· Pembunuhan di kota haram atau Mekkah.

· Pembunuhan orang yang masih mempunyai hubungan kekeluargaanseperti Muhrim, Radhâ’ah atau Mushaharah.

· Pembunuhan tersalahdengan tongkat, cambuk dsb.

· Pemotongan atau membuat cacat angota badan tertentu.

b. Diyat Mukhaffafah, yakni denda ringan.

Diyat Mukhoffafah diwajibkan atas pembunuhan tersalah.

Jumlah dendanya 100 ekor unta terdiri dari 20 ekor unta beurumur 3 tahun, 20 ekor unta berumur 4 tahun, 20 ekor unta betina berumur 2 tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2 tahun dan 20 ekor unta betina umur 1 tahun.

Diyat Mukhoffafah dapat pula diganti uang atau lainya seharga unta tersebut. Diat Mukhoffafah adalah sebagai berikut :

· Pembunuhan yang tersalah.

· Pembunuhan karena kesalahan obat bagi dokter.

· Pemotongan atau membuat cacat serta melukai anggota badan.

3. Ketentuan-ketentuan lain mengenai diat :

a. Masa pembayaran diyat, bagi pembunuhan sengaja dibayar tunai waktu itu juga. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja atau karena tersalah dibayar selama 3 tahun dan tiap tahun sepertiga.

b. Diyat wanita separo laki-laki.

c. Diyat kafir dhimmi dan muâ’hid separo diat muslimin.

d. Diyat Yahudi dan Nasrani sepertiga diat oran g Islam.

e. Diyat hamba separo diat oran g merdeka.

f. Diyat janin, sepersepuluh diat ibunya, 5 ekor unta.

4. Diyat anggota badan :

Pemotongan, menghilangkan fungsi, membuat cacad atau melukai anggota badan dikenakan diyat berikut :

*Pertama : Diyat 100 (seratus) ekor unta. Diat ini untuk anggota badan berikut :

a. Bagi anggota badan yang berpasangan (kiri dan kanan) jika keduan-duanya potong atau rusak, yaitu kedua mata, kedua telinga, kedua tangan, kedua kaki, kedua bibir (atas bawah) dan kedua belah buah zakar.

b. Bagi anggota badan yang tunggal, seperti : hidung, lidah, dll..

c. Bagi tulang sulbi ( tulang tempat keluar air mani laki-laki)

*Kedua : Diyat 50 ekor unta.

Diyat ini untuk anggota badan yang berpasangan, jika salah satu dari keduanya ( kanan dan kiri) terpotong.

Ketiga : Diat 33 ekor unta ( sepertiga dari diatyang sempurna). Diyat ini terhadap :

a. Luka kepala sampai otak

b. Luka badan sampai perut

c. Sebelah tangan yang sakit kusta

d. Gigi-gigi yang hitam

Gigi satu bernilai 5 ekor unta. Kalau seseorang meruntuhkan satu gigi orang lain harus membayar dengan 5 ekor unta. Kalau meruntuhkan 2, harus membayar 10 ekor. Bagaimana kalau seseorang meruntuhkan semua gigiorang lain, apakah harus membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi tersebut ? Ulama berbeda pendapat. Sebagian berpendapat : cukup membayar diyat 60 ekor unta (dewasa). Ulama lain berpendapat harus membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi.

Kamis, 15 Oktober 2009

GHONIMAH
Diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda, "Tidak ada di antara pasukan yang berperang dijalan Allah, lalu mereka selamat dan memperoleh harta rampasan perang (ghanimah) kecuali disegerakan dua pertiga pahalanya. Dan tidak ada di antara pasukan yang gagal, takut, dan menderita kekelahan kecuali disempurnakan pahala mereka."1)
Penyingkapan Rahasia dan Penjelasan Maknanya
Ketahuilah bahwa yang dinamakan manusia dalam pengertian umum adalah kumpulan jisim alaminya (jasmaninya), nafsu hewaninya, dan rohnya yang mengatur rangkanya. Maka setiap perbuatan yang muncul adalah dari semua hal tersebut. Karena, masing-masing dari tiga hal itu merniliki andil dan bagian dalam perbuatan. Ketika seorang mujahid dijalan Allah memperoleh harta rampasan perang dan keselamatan, maka dia telah memperoleh bagian jasmaninya (fisiknya), itu adalah yang dimanfaatkannya berupa makanan, minuman, pakaian, dan sebagainya. Nafsu hewaninya pun mendapat apa yang diperolehnya berupa kelezatan kemenangan atas musuh, melakukan pembalasan terhadapnya, dan sebagainya berupa keuntungan-keuntungan hewani.
Maka tidak tersisa baginya selain yang dikhususkan bagi rohnya yang berpisah dari badannya sebagai balasan dari keimanannya, dan niat serta maksud yang benar berupa permusuhan (terhadap musuh) yang dilakukannya untuk mencari ridha Allah, kecintaan untuk meninggikan kalimatNya, menundukkan musuh-Nya, dan melaksanakan perintahNya. Ketika dia selamat dan memperoleh harta rampasan perang, dia tidak memperoleh dari jihadnya bagian rohnya kecuali bila dia menghadirkan dalam dirinya kebenaran janji al-Haqq yang mengabarkan hal itu. Itu merupakan hal yang menyertai setiap orang yang beriman. Maka jelaslah apa yang saya telah sebutkan bagi setiap orang yang mengamati bahwa pahala para mujahid terbagi, sebagaimana kami telah tunjukkan kedalam tiga bagian. Selain itu, orang-orang yang selamat dan memperoleh harta rampasan di antara mereka, telah disegerakan dua pertiga pahala mereka. Maksudnya, dua bagian dari tiga bagian. Kedua bagian itu merupakan bagian jasmaninya dan bagian nafsu hewaninya. Tersisa bagi mereka bagian roh mereka yang tersimpan di akhirat, berbeda dengan pasukan yang gagal dan mengalami kekalahan.
Karena itu, beliau saw bersabda, "Disempurnakan pahala mereka." Ingatlah rahasia-rahasia yang terpendam di dalam isyarat-isyarat kenabian, maka engkau tahu bahwa beliau Shallallahu 'Alaihi wa Sallam itu "tiadalah yang diucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya. (QS. an-Najm: 3) Selain itu, engkau akan tahu bahwa isyarat-isyaratnya meliputi pokok-pokok ilmu. Orang yang Allah tidak tampakkan padanya ilmu tersebut bukanlah termasuk para pewarisnya dan bukan pula termasuk orang-orang yang mengetahui syariatnya. Melainkan dia hanya pemelihara dan penukil bentuk-bentuk hukum lahir syariatnya tanpa mengetahul maksudnya, rahasia pemberlakuannya, dan kandungannya berupa ilmu dan hikmah. Maka pahami dan renungkanlah.
SALAF
RasuluLlah SAW bersabda; “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian yang mengikuti mereka, kemudian mereka yang mengikuti mereka. Kemudian, setelah kamu ada orang-orang yang bersaksi tanpa diminta untuk melakukannya, mereka berkhianat dan tidak bisa dipercaya, mereka bersumpah dan tidak memenuhinya….” [Al Bukhari dan Muslim]
Dengan tujuan untuk memahami apa yang dimaksud dengan istilah Salafi sangat penting untuk menjelaskan perbedaan antara istilah berikut; As salaf, As Salafiyyah dan As Salafi.
1. Kata As Salaf di cirikan pada sebuah era, dalam bentuk jamak disebut Al Aslaaf.Ayat dibawah ini menggunakan kata Salaf untuk pengerti secara tepat:
“Dan Firaun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata: “Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat (nya)? Bukankah aku lebih baik dari orang yang hina ini dan yang hampir tidak dapat menjelaskan (perkataannya)? Mengapa tidak dipakaikan kepadanya gelang dari emas atau malaikat datang bersama-sama dia untuk mengiringkannya.” Maka Firaun mempengaruhi kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. Maka tatkala mereka membuat Kami murka, Kami menghukum mereka lalu Kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), dan Kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian. [QS Al Zukhruf, 43, 51-56]
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barang siapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Kakbah, atau (dendanya) membayar kafarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah memaafkan apa yang telah lalu. Dan barang siapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.” [QS Al Ma’idah, 5: 95]
“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” [QS An Nisaa’, 4: 22]
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” [QS Al Baqarah, 2: 275]
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [QS An Nisaa’, 4: 23]
As Salaf secara bahasa adalah lawan dari khalaf yang berarti era sebelumnya dan sesudahnya. As Salaf terbagi menjadi dua era;
- As Salafus SalihIni adalah adalah golongan yang pertama dalam Ummat ini seperti Aadam, Nuh, Ibrahim, Musa, ‘Isa (as) dan lainnya serta RasuluLlah Muhammad SAW beserta Shahabat-shahabatnya ra.
- As Salafut TaalihIni termasuk seperti Iblis dan Fir’aun sebagaimana Allah SWT menyebutkannya dalam Qur’an.
2. Istilah As Salafiyyah adalah karekteristik pada sebuah manhaj, pluralnya disebut salafiyun. Kata ini diambil dari kata kerja Salafa yang berarti apa saja yang telah selesai, telah berlalu atau yang telah dimulai.
Istilah As Salafiyyah adalah sinonim dari apa yang disebut standar Islam (merujuk pada buku Standar Islam pada bab 1 oleh Syeikh Omar Bakri Muhammad) sebagaimana itu menujuk pada manhaj mengikuti Qur’an dan Sunnah berdasarkan dengan pemahaman Shahabah.
As Salafiyyah adalah standard dan itu bukan suatu karakter kelompok atau seseorang, selanjutnya bahkan menggunakan istilah seperti Salafiyyah Jihaadiyyah kurang tepat karena Salafiyyah secara defenisi termasuk Jihad.
As Salafiyyah dipahami sebagai berikut:
Ahlul Hadits – Ahli Hadits
Ahlul Atsar – Ahli Riwayat
Ahlul Jama’ah – Orang-orang dalam Jama’ah
Ahlus Sunnah – Orang-orang Sunnah
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
Al Firqatun Naajiyah – Golongan yang selamat
At Taa’ifah Al Mansurah – Kelompok yang dimenangkan
Al Ghurabaa – Orang-orang yang terasing
Al Mufridun – Orang-orang yang taat
Al Muwahhidun – orang-orang yang taat
An Nuzaa’minal Qabaa’il – orang-orang yang menolak kebiasaan dan tradisi
A Immatul Hudaa
Ahlul ittabaa’ – Mereka yang mengikuti Qur’an dan Sunnah berdasarkan dengan pemahaman Shahabat, yang berlawanan Ahlul Ibtidaa’ yang mengikuti lainnya dan bid’ah.
3. Istilah As Salafi adalah karekter seseorang yang membawa keyakinan dan manhaj tertentu.
Kesimpulan
As Salaf – Ketika menyebutkannya merujuk pada Imamus Salaf yaitu Rasulullah Muhammad SAW dan Shahabat-shahabatnya sebagai sebuah era yaitu generasi pertama.
As Salafiyyah – ini berarti ‘dalam jalan salaf’ merujuk pada metode tertentu atau mekanisme untuk memahami, merujuk dan mengikuti wahyu.
As Salafi – Merujuk pada seseorang yang mengikuti keyakinan dan metode tertentu (manhaj As Salafiyyah).
Apakah diperbolehkan menggunakan istilah Salafi?
Rasulullah SAW duduk bersma Fatimah ra dan dia merasa sedih, dia bertanya pada Rasulullah SAW jika kamu wafat besok siapa yang akan aku ikuti? Beliau SAW berkata; ‘Aku adalah sebaik-baik salaf bagimu wahai Fatimah.’ [Muslim, No, 2482]
Jika RasuluLlah SAW adalah sebaik-baik Salaf bagi Fatimah untuk merujuk pada setelah dia wafat maka beliau juga adalah sebaik-baik Salaf untuk kita ikuti.
Diriwayatkan oleh Rasyid Bin Sa’ad dalam bab menaiki kuda liar; salaf dahulu menyukai mengendarai kuda liar betina. [Bukhari, jilid 6. hal 66, Fathl Bari]
Rasyid Ibnu Sa’ad adalah seorang Taabi’ akbar dan selanjutnya salaf baginya adalah Shahabat. Ibnu Hajar berkata bahwa salaf disini adalah Rasulullah SAW dan para Shahabatnya.
Pada bab apa yang shahabat simpan dalam rumahnya (makanan), diriwayatkan oleh Imam Zuhri dimana dia berkata ‘Aku berada pada salafus salih (ulama salaf) dan mereka akan menyimpan makanan dan bahkan tulang gajah untuk menyisir rambut mereka, untuk sabun dan transportasi.’ [Bukhari, jilid 1 hal 342, Fathul Bari dan Bukhari, Jilid 5 hal. 208]
Ibnu Hajar berkata bahwa salaf bagi Ulama adalah RasuluLlah SAW. Hadits Muhammad Ibnu Abdullah, Ali Bin Syuqaiq mendengar Ibnu Mubarak berkata ‘Aku tidak mengambil Hadits dari Amru Ibnu Tsabit karena dia tidak setuju dengan beberapa salaf’. [Muqadimah Shahih Muslim, hal. 6]
Imamal Uzai’, Kitaab ul Syariyyah, Jilid 58 oleh Imam Al Aujirii berkata berkaitan dengan ayat: Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunah (Allah terhadap) orang-orang dahulu”. [Al Anfal, 38] Tetap berdiri pada Sunnah dan berdiri dimana Salaf telah berdiri dan berkata apa yang telah mereka katakan, menahan diri dari apa yang mereka hindari, mengikuti manhaj Salafus Shalih, apa yang cukup bagi mereka adalah cukup bagi mereka.’
Ada ijma dari Tabi’in dan Tabi Tabi’in tentang istilah ‘salaf’.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa ada ijma tentang istilah salaf dalam kitabnya Al Fataawa, Jilid 1, hal. 149 dimana dia menjawan Al Izzul dien Ibnu Abdus Salam adalah seorang yang beraqidah Ashari menyatakan menjadi seorang salafi. Ibnu Taimiyah berkata; …dan itu adalah orang yang menyamarkan dirinya sendiri dengan Mahzab salaf, tidak punya rasa malu atas orang yang mengklaim mengikuti salaf dan mengatributkan dirinya pada mereka dan menyatakan menjadi seorang salafi, kita harus menerima ini darinya karena jalan salaf adalah haq dan jika apa yang kamu sembunyikan sama dengan apa yang kamu tampakan maka kamu adalah mu’min dan jika itu tidak maka kami akan menilai yang ditampakkan dan Allah SWT mengetahui apa yang disembunyikan, dan in adalah apa yang Allah wajibkan kepada kita untuk menilai.
Apa yang Ibnu Taimiyah katakan adalah bahwa kita seharunya menerima dari seseorang yang mengklaim mengikuti salaf dengan menyebut dirinya sebagai seorang salafi dengan tujuan untuk mendorongnya dalam mengikuti manhaj ini, yang lebih baik daripada mengatakan bahwa mereka adalah Ashari dan Maturidi.
Tanda-tanda Ahlul Bid’ah adalah bahwa mereka tidak suka disebut Salafi
Ibnu Taimiyah, jilid 4 hal hal. 155, Kitabul Fatawa berkata; slogan ahlul bid’ah adalah bahwa mereka tidak pernah setuju diatributkan pada salaf.
Hafidz Ibnu Maruuf Ibnu Muhammad juga mengetahui sebagaimana Abu Tahir As Salafi bahwa ‘Salafi’ mempunyai dua fatha dan dia adalah seseorang yang mengikuti jalan salaf.
Muhammad Ibnu Muhammad Al Bahraani berkata bahwa dia berlaku sebagaimana salafi.
Ahmad Ibn Ahmad Al Maqdisi berkata bahwa dia seseorang yang berada pada Aqidah Salaf.
Daaruqutuni berkata bahwa tidak ada yang aku benci selain ilm kalam, tidak ada seorangpun yang memasuki ilmu ini, membantah dan berdebat kecuali Ahlul Bid’ah. Imam Dhahabi berkata tentangnya bahwa dia tidak pernah berbicara tentang Kalaam dan bahwa dia seorang Salafi.
Sebagian orang berkata bahwa tidak dibolehkan untuk menyebut diri kita salafi disaat apa yang Allah SWT katakan dalam Qur’an… maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa. [QS An Najm, 53:32]
Fuqaha berkata bahwa jika seseorang berkata aku Atsari atau salafi dibolehkan melakukannya jika dia menjelaskan aqidahnya kepada orang lain, jika itu lakukan dengan tujuan untuk memuji dirinya sendiri maka itu dilarang.
Alasan bahwa kita tidak menggunakan istilah salafi dan mengatributkan diri kita karena Allah SWT melarang kita untuk memuji diri kita dan selanjutnya dilarang menggunakannya kecuali kita menginformasikan kepada orang lain tentang aqidah kita dengan tujuan agar mereka mengerti.

Rabu, 14 Oktober 2009

Membunuh Dengan Sengaja
Orang yang telah disabitkan kesalahan membunuh dengan sengaja boleh dijatuhkan hukuman asas, ganti dan hukuman tambahan. Hukuman asas bagi penjenayah bunuh dengan sengaja qisas dan hukuman ganti ialah diyat atau kaffarah.
Manakala hukuman tambahan pula ialah diharamkan daripada menerima pusaka, wasiat dan menanggung dosa.

Selasa, 13 Oktober 2009

Apabila pembunuhan berlaku secara tidak sengaja maka ia menggugurkan hukum qisos.
Maka disana ada 2 perkara yang perlu dilakukan

Pertama wajib membayar diyat kepada keluarga simati
Kadarnya ialah nilai 100 ekor unta

Kedua perlu melakukan kafaarah
Merdekakan seorang hamba, jika tidak mampu perlu puasa 60 hari.

Jika yang terbunuh itu kafir harbi, tiada apa-apa yang perlu dilakukan
jika kafir itu ahli zimmah diyatnya ialah 1/3 diyat muslim.

Sila rujuk tafsir untuk ayat 92 surah an nisaa`

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلَّا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا

Dan tidak harus sama sekali bagi seseorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali dengan tidak sengaja dan sesiapa yang membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja, maka (wajiblah dia membayar kafarah) dengan memerdekakan seorang hamba yang beriman
serta membayar "diat" (denda ganti nyawa) yang diserahkan kepada ahlinya (keluarga si mati), kecuali jika mereka sedekahkan (memaafkannya).
Tetapi jika dia (yang terbunuh dengan tidak sengaja) dari kaum (kafir) yang memusuhi kamu, sedang dia sendiri beriman, maka (wajiblah si pembunuh membayar kafarah sahaja dengan) memerdekakan seorang hamba yang beriman
dan jika dia (orang yang terbunuh dengan tidak sengaja itu) dari kaum (kafir) yang ada ikatan perjanjian setia di antara kamu dengan mereka, maka wajiblah membayar "diat" (denda ganti nyawa) kepada keluarganya serta memerdekakan seorang hamba yang beriman. Dalam pada itu, sesiapa yang tidak dapat (mencari hamba yang akan dimerdekakannya), maka hendaklah dia berpuasa dua bulan berturut-turut; (hukum yang tersebut) datangnya dari Allah untuk menerima taubat (membersihkan diri kamu) dan (ingatlah) Allah Maha Mengetahui, lagi Maha Bijaksana.

Kamis, 27 Agustus 2009

PENGERTIAN JINAYAH
Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahatyang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja.Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk dibawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas,diyat atau ta`zir.

PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360).

Hukuman Hudud
Hukuman hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith. Hukuman hudud ini adalah hak Allah yang bukan sahaja tidak boleh ditukar ganti hukumannya atau diubahsuai atau dipinda malah tidak boleh dimaafkan oleh sesiapapun di dunia ini. Mereka yang melanggar ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya adalah termasuk dalam golongan orang yang zalim. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:
“Dan sesiapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Surah Al-Baqarah, 2:229).
Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud ialah:
a) Berzina, iaitu melakukan persetubuhan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syara`.
b) Menuduh orang berzina (qazaf), iaitu membuat tuduhan zina ke atas orang yang baik lagi suci atau menafikan keturunannya dan tuduhannya tidak dapat dibuktikan dengan empat orang saksi.
c) Minum arak atau minuman yang memabukkan sama ada sedikit atau banyak, mabuk ataupun tidak.
d) Mencuri, iaitu memindahkan secara sembunyi harta alih dari jagaan atau milik tuannya tanpa persetujuan tuannya dengan niat untuk menghilangkan harta itu dari jagaan atau milik tuannya.
e) Murtad, iaitu orang yang keluar dari agama Islam, sama ada dengan perbuatan atau dengan perkataan, atau dengan i`tiqad kepercayaan.
f) Merompak (hirabah), iiatu keluar seorang atau sekumpulan yang bertujuan untuk mengambil harta atau membunuh atau menakutkan dengan cara kekerasan.
g) Penderhaka (bughat), iaitu segolongan umat Islam yang melawan atau menderhaka kepada pemerintah yang menjalankan syari`at Islam dan hukum-hukum Islam.

PENGERTIAN DIAT:
Denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak di lakukan padanya hukuman bunuh.
a. bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang membunuh dari pembalasan jiwa.
b. Pembunuh yang tidak ada unsure membunuh.
Hukuman Diyat
Hukuman diyat ialah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh penjenayah kepada wali atau waris mangsanya sebagai gantirugi disebabkan jenayah yang dilakukan oleh penjenayah ke atas mangsanya. Hukuman diyat adalah hukuman kesalahan-kesalahan yang sehubungan dengan kesalahan qisas dan ia sebagai gantirugi di atas kesalahan-kesalahan yang melibatkan kecederaan anggota badan atau melukakannya.
Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman diyat ialah:
a) Pembunuhan yang serupa sengaja.
b) Pembunuhan yang tersalah (tidak sengaja).
c) Pembunuhan yang sengaja yang dimaafkan oleh wali atau waris orang yang dibunuh. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:
“Maka sesiapa (pembunuh) yang dapat sebahagian keampunan dari saudaranya (pihak yang terbunuh) maka hendaklah (orang yang mengampunkan itu) mengikut cara yang baik (dalam menuntut ganti nyawa), dan si pembunuh pula hendaklah menunaikan (bayaran ganti nyawa itu) dengan sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu serta satu rahmat kemudahan. Sesudah itu sesiapa yang melampaui batas (untuk membalas dendam pula) maka baginya azab siksa yang tidak terperi sakitnya.” (Surah Al-Baqarah, 2:178)


QISHASH
1. Pengertian Qishash
Menurut syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.
2. Qishash ada 2 macam :
a. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
3. Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
f. Oran g yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan Nasaâ’)
4. Pembunuhan olah massa / kelompok orang
Sekelompok oran g yang membunuh seorang harus diqishash, dibunuh semua..
5. Qishash anggota badan
Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Maidah : 45)



QIYAS
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya ………………. yang berarti “saya mengukur baju dengan hasta”
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas adalah :
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.
Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas dengan :
“Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan :
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.
Sekalipun terdapata perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm) yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Adapun rukun qiyas itu ada 4 :
• Ash l• Far’u • Illat • Hukum ashl
Kehujjahan Qiyas
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.
Berbeda dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :
1. Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah :
• Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1


Kafarat
1. (Isl) denda yang harus dibayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji
2. persembahan kepada Allah sebagai tanda mohon pengampunan (karena telah melanggar hukum-Nya)
Definisi jinayat:
Menurut syara’ ialah perbuatan atau perilaku yang di lakukan oleh seseorang untuk
mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain
dengan sengaja.

Jumat, 07 Agustus 2009

Fiqh

PENGERTIAN FIQIH
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)

dan sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)

Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:

1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:

a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al maidah:6)

b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya :
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)

FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:

Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.

2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.

3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih mu’amalah.

4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih siasah syar’iah.

5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.

6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as Siyar.

7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak

Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

AL QUR’AN

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :

a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)

b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)

Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:

“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Bukhari no.595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)

Pengertian Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.

Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.

Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.

Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :

Artinya:
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."

Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :

Artinya:
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".

Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.

Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :

Artinya:
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."

Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni:

Artinya:
"Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".

Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.

Artinya:
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)

Atau seperti sabda Rasulullah SAW :

Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).

Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.

Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :

Artinya:
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."

Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :

Artinya :
"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."

Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :