Kamis, 27 Agustus 2009

PENGERTIAN JINAYAH
Jinayah menurut fuqaha' ialah perbuatan atau perilaku yang jahatyang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja.Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk dibawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas,diyat atau ta`zir.

PENGERTIAN HUDUD
Hudud adalah bentuk jama’ dari kata had yang asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Menurut bahasa, kata had berarti al-man’u (cegahan) (Fiqhus Sunnah II: 302).
Adapun menurut syar’i, hudud adalah hukuman-hukuman kejahatan yang telah ditetapkan oleh syara’ untuk mencegah dari terjerumusnya seseorang kepada kejahatan yang sama (Manarus Sabil II: 360).

Hukuman Hudud
Hukuman hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith. Hukuman hudud ini adalah hak Allah yang bukan sahaja tidak boleh ditukar ganti hukumannya atau diubahsuai atau dipinda malah tidak boleh dimaafkan oleh sesiapapun di dunia ini. Mereka yang melanggar ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya adalah termasuk dalam golongan orang yang zalim. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:
“Dan sesiapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Surah Al-Baqarah, 2:229).
Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud ialah:
a) Berzina, iaitu melakukan persetubuhan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syara`.
b) Menuduh orang berzina (qazaf), iaitu membuat tuduhan zina ke atas orang yang baik lagi suci atau menafikan keturunannya dan tuduhannya tidak dapat dibuktikan dengan empat orang saksi.
c) Minum arak atau minuman yang memabukkan sama ada sedikit atau banyak, mabuk ataupun tidak.
d) Mencuri, iaitu memindahkan secara sembunyi harta alih dari jagaan atau milik tuannya tanpa persetujuan tuannya dengan niat untuk menghilangkan harta itu dari jagaan atau milik tuannya.
e) Murtad, iaitu orang yang keluar dari agama Islam, sama ada dengan perbuatan atau dengan perkataan, atau dengan i`tiqad kepercayaan.
f) Merompak (hirabah), iiatu keluar seorang atau sekumpulan yang bertujuan untuk mengambil harta atau membunuh atau menakutkan dengan cara kekerasan.
g) Penderhaka (bughat), iaitu segolongan umat Islam yang melawan atau menderhaka kepada pemerintah yang menjalankan syari`at Islam dan hukum-hukum Islam.

PENGERTIAN DIAT:
Denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak di lakukan padanya hukuman bunuh.
a. bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang membunuh dari pembalasan jiwa.
b. Pembunuh yang tidak ada unsure membunuh.
Hukuman Diyat
Hukuman diyat ialah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh penjenayah kepada wali atau waris mangsanya sebagai gantirugi disebabkan jenayah yang dilakukan oleh penjenayah ke atas mangsanya. Hukuman diyat adalah hukuman kesalahan-kesalahan yang sehubungan dengan kesalahan qisas dan ia sebagai gantirugi di atas kesalahan-kesalahan yang melibatkan kecederaan anggota badan atau melukakannya.
Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman diyat ialah:
a) Pembunuhan yang serupa sengaja.
b) Pembunuhan yang tersalah (tidak sengaja).
c) Pembunuhan yang sengaja yang dimaafkan oleh wali atau waris orang yang dibunuh. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:
“Maka sesiapa (pembunuh) yang dapat sebahagian keampunan dari saudaranya (pihak yang terbunuh) maka hendaklah (orang yang mengampunkan itu) mengikut cara yang baik (dalam menuntut ganti nyawa), dan si pembunuh pula hendaklah menunaikan (bayaran ganti nyawa itu) dengan sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu serta satu rahmat kemudahan. Sesudah itu sesiapa yang melampaui batas (untuk membalas dendam pula) maka baginya azab siksa yang tidak terperi sakitnya.” (Surah Al-Baqarah, 2:178)


QISHASH
1. Pengertian Qishash
Menurut syaraĆ¢’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai pelangarannya.
2. Qishash ada 2 macam :
a. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai, merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
3. Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang membunuh atau yang melukai itu.
f. Oran g yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan NasaĆ¢’)
4. Pembunuhan olah massa / kelompok orang
Sekelompok oran g yang membunuh seorang harus diqishash, dibunuh semua..
5. Qishash anggota badan
Semua anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Maidah : 45)



QIYAS
Secara bahasa qiyas berarti ukuran, mengetahui ukuran sesuatu, membandingkan atau menyamakan sesuatu dengan yang lain, misalnya ………………. yang berarti “saya mengukur baju dengan hasta”
Pengertian qiyas secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqh, sekalipun redaksinya berbeda tetapi mengandunng pengertian yang sama.
Sadr al-Syari’ah (w. 747 H), tokoh ushul fiqh Hanafi menegmukakan bahwa qiyas adalah :
“Memberlakukan hukum asal kepada hukum furu’ disebabkan kesatuan illat yang tidak dapat dicapai melalui pendekatan bahasa saja”.
Maksudnya, illat yang ada pada satu nash sama dengan illat yang ada pada kasus yang sedang dihadapi seorang mujtahid, karena kesatuan illat ini, maka hukum kasus yang sedang dihadapi disamakan dengan hukum yang ditentukan oleh nash tersebut.
Mayoritas ulama Syafi’iyyah mendefinisikan qiyas dengan :
“Membawa (hukum) yang (belum) di ketahui kepada (hukum) yang diketahui dalam rangka menetapkan hukum bagi keduanya, atau meniadakan hukum bagi keduanya, baik hukum maupun sifat.”
DR. Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan qiyas dengan :
“Menyatukan sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam nash dengan sesuatu yang disebutkan hukumnya oleh nash, disebabkan kesatuan illat antara keduanya”.
Sekalipun terdapata perbedaan redaksi dalam beberapa definisi yang dikemukakan para ulama ushul fiqih klasik dan kontemporer diatas tentang qiyas tetapi mereka sepakat menyatakan bahwa proses penetapan hukum melalui metode qiyas bukanlah menetapkan hukum dari awal (istinbath al-hukm wa insya’uhu) melainkan hanya menyingkapkan dan menjelaskan hukum (al-Kasyf wa al-Izhhar li al-Hukm) yang apa pada suatu kasus yang belum jelas hukumnya. Penyingkapan dan penjelasan ini di lakukan melalui pembahasan mendalam dan teliti terhadap illat dari suatu kasus yang sedang dihadapi. Apabila illatnya sama dengan illat hukum yang disebutkan dalam nash, maka hukum terhadap kasus yang dihadapi itu adalah hukum yang telah ditentukan nash tersebut.
Misalnya, seorang mujtahid ingin mengetahui hukum minuman bir atau wisky. Dari hasil pembahasan dan penelitiannya secara cermat, kedua minuman itu mengandung zat yang memabukkan, seperti zat yang ada pada khamr. Zat yang memabukkan inilah yang menjadi penyebab di haramkannya khamr. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Maidah 5 : 90 – 91. Dengan demikian, mujtahid tersebut telah menemukan hukum untuk bir dan wisky, yaitu sama dengan hukum khamr, karena illat keduanya adalah sama. Kesamaan illat antara kasus yang tidak ada nash-nya dengan hukum yang ada nash-nya menyebabkan adanya kesatuan hukum.
Adapun rukun qiyas itu ada 4 :
• Ash l• Far’u • Illat • Hukum ashl
Kehujjahan Qiyas
Ulama ushul fiqih berbeda pendapat terhadap kehujjahan qiyas dalam menetapkan hukum syara’. Jumhur ulama ushul fiqih berpendirian bahwa qiyas bisa dijadikan sebagai metoda atau sarana untuk mengistinbathkan hukum syara’.
Berbeda dengan jumhur para ‘ulama mu’tazilah berpendapat bahwa qiyas wajib diamalkan dalam dua hal saja, yaitu :
1. Illatnya manshush (disebutkan dalam nash) baik secara nyata maupun melalui isayrat.
2. Hukum far’u harus lebih utama daripada hukum ashl.
Wahbah al-Zuhaili mengelompokkan pendapat ulama ushul fiqh tentang kehujjahan qiyas menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang menerima qiyas sebagai dalil hukum yang dianut mayoritas ulama ushul fiqih dan kelompok yang menolak qiyas sebagai dalil hukum yaitu ulama – ulama syi’ah al-Nazzam, Dhahiriyyah dan ulama mu’tazilah Irak.
Alasan penolakan qiyas sebagai dalil dalam menetapkan hukum syara’ menurut kelompok yang menolaknya adalah :
• Firman Allah dalam surat al-Hujurat, 49 : 1


Kafarat
1. (Isl) denda yang harus dibayar karena melanggar larangan Allah atau melanggar janji
2. persembahan kepada Allah sebagai tanda mohon pengampunan (karena telah melanggar hukum-Nya)
Definisi jinayat:
Menurut syara’ ialah perbuatan atau perilaku yang di lakukan oleh seseorang untuk
mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain
dengan sengaja.

Jumat, 07 Agustus 2009

Fiqh

PENGERTIAN FIQIH
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)

dan sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)

Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:

1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.

2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).

HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.

Contohnya:

a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al maidah:6)

b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya :
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)

Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)

FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:

Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:

1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.

2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.

3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih mu’amalah.

4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih siasah syar’iah.

5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.

6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as Siyar.

7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak

Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.

SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:

AL QUR’AN

Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :

a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)

b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.

AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.

Contoh perkataan/sabda Nabi :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)

Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”

Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.

As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:

“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Bukhari no.595)

Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.

IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)

Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.

Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.

QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.

Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.

Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.

Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)

Pengertian Ushul Fiqh

Pengertian Ushul Fiqh dapat dilihat sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu : kata Ushul dan kata Fiqh dan dapat dilihat pula sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu Syari'ah.

Dilihat dari tata bahasa (Arab), rangkaian kata Ushul dan kata Fiqh tersebut dinamakan dengan tarkib idlafah, sehingga dari rangkaian dua buah kata itu memberi pengertian ushul bagi fiqh.

Kata Ushul adalah bentuk jamak dari kata ashl yang menurut bahasa, berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi yang lain. Berdasarkan pengertian Ushul menurut bahasa tersebut, maka Ushul Fiqh berarti sesuatu yang dijadikan dasar bagi fiqh.

Sedangkan menurut istilah, ashl dapat berarti dalil, seperti dalam ungkapan yang dicontohkan oleh Abu Hamid Hakim :

Artinya:
"Ashl bagi diwajibkan zakat, yaitu Al-Kitab; Allah Ta'ala berfirman: "...dan tunaikanlah zakat!."

Dan dapat pula berarti kaidah kulliyah yaitu aturan/ketentuan umum, seperti dalam ungkapan sebagai berikut :

Artinya:
"Kebolehan makan bangkai karena terpaksa adalah penyimpangan dari ashl, yakni dari ketentuan/aturan umum, yaitu setiap bangkai adalah haram; Allah Ta'ala berfirman : "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai... ".

Dengan melihat pengertian ashl menurut istilah di atas, dapat diketahui bahwa Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua kata, berarti dalil-dalil bagi fiqh dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi fiqh.

Fiqh itu sendiri menurut bahasa, berarti paham atau tahu. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Sayyid al-Jurjaniy, pengertian fiqh yaitu :

Artinya:
"Ilmu tentang hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."

Atau seperti dikatakan oleh Abdul Wahab Khallaf, yakni:

Artinya:
"Kumpulan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci".

Yang dimaksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu, seperti firman Allah menunjukkan kepada kewajiban shalat.

Artinya:
".....dirikanlah shalat...."(An-Nisaa': 77)

Atau seperti sabda Rasulullah SAW :

Artinya:
"Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya mengharamkan jual beli khamar (benda yang memabukkan)." (HR Bukhari dan Muslim dari Jabir bin Abdillah).

Hadits tersebut menunjukkan kepada keharaman jual beli khamar.

Dengan penjelasan pengertian fiqh di atas, maka pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata, yaitu dalil-dalil bagi hukum syara' mengenai perbuatan dan aturan-aturan/ketentuan-ketentuan umum bagi pengambilan hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.

Tidak lepas dari kandungan pengertian Ushul Fiqh sebagai rangkaian dari dua buah kata tersebut, para ulama ahli Ushul Fiqh memberi pengertian sebagai nama satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syari'ah. Misalnya Abdul Wahhab Khallaf memberi pengertian Ilmu Ushul Fiqh dengan :

Artinya:
"Ilmu tentang kaidah-kaidah (aturan-atura/ketentuan-ketentuan) dan pembahasan-pemhahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci."

Maksud dari kaidah-kaidah itu dapat dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan, yakni bahwa kaidah-kaidah tersebut merupakan cara-cara atau jalan-jalan yang harus ditempuh untuk memperoleh hukum-hukum syara'; sebagaimana yang terdapat dalam rumusan pengertian Ilmu Ushul Fiqh yang dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah sebagai berikut :

Artinya :
"Ilmu tentang kaidah-kaidah yang menggariskan jalan-jalan utuk memperoleh hukum-hukum syara' mengenai perbuatan dan dalil-dalilnya yang terperinci."

Dengan lebih mendetail, dikatakan oleh Muhammad Abu Zahrah bahwa Ilmu Ushul Fiqh adalah ilmu yang menjelaskan jalan-jalan yang ditempuh oleh imam-imam mujtahid dalam mengambil hukum dari dalil-dalil yang berupa nash-nash syara' dan dalil-dalil yang didasarkan kepadanya, dengan memberi 'illat (alasan-alasan) yang dijadikan dasar ditetapkannya hukum serta kemaslahatan-kemaslahatan yang dimaksud oleh syara'. Oleh karena itu Ilmu Ushul Fiqh juga dikatakan :